Jumat, 24 Februari 2017
[Sir.
6:5-17; Mzm. 119:12,16,18,27,34,35; Mrk. 10:1-12]
KESETIAAN SEBAGAI TANDA KEHADIRAN
ALLAH
Suatu pagi, sehabis misa, saya bertemu seorang pemuda,
yang kemudian berkisah tentang perjalanan cintanya. Pemuda ini mengkisahkan
bahwa mencintai orang yang juga mencintai kita, tentu sangat membahagiakan. Bahkan
terkadang, perasaan bahagia itu tak mudah diungkapkan dengan kata-kata. Namun,
ketika perasaan cinta telah luntur dan bahkan hilang, kadang yang tersisa
adalah kekecewaan dan sebuah penyesalan.
Maka, orang yang bisa meneruskan
perjalanan cinta sampai jenjang pernikahan, tentu tidak cukup kalau hanya
mengandalkan rasa cinta, karena rasa cinta bisa luntur, hilang dan berubah-ubah
karena keadaan dan waktu. Maka, yang terpenting dari sebuah pernikahan adalah
kesetiaan. Tetap mencintai pasangan dalam keadaan bahagia atau ketika semua
berjalan mudah dan baik-baik saja, itu biasa. Tapi, tetap mencintai pasangan ketika
ada kemalangan, dukacita atau ketika keadaan sungguh tak berpihak, nah itu yang
tidak mudah. Maka, itulah arti sebuah kesetiaan, tetap bertahan ketika ‘badai
hidup’ menerjang. Kesetiaan juga menjadi tanda kehadiran Allah dalam diri dua
orang yang mengikat janji dalam pernikahan.
Yesus dalam Injil hari ini menyatakan bahwa setiap
pernikahan dipersatukan oleh Allah sendiri. Kalau selalu yakin dan percaya
bahwa Allah yang menyatukan, maka dalam setiap ‘badai hidup’ yang menerjang, setiap
pasangan suami istri juga mesti percaya dan yakin bahwa Allah akan memberikan
kekuatan. Yesus menyatakan: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu,
karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Melalui
peneguhan yang Yesus katakan, marilah kita juga berdoa untuk keluarga-keluarga
kristiani, supaya selalu memperjuangkan kesetiaan dan komitmen untuk terus
saling mencintai, karena Allah sendiri juga hadir di dalam keluarga-keluarga.
Selamat pagi, semoga semakin merasakan kehadiran Allah
dalam keluarga. GBU.
#james5buceng2