[Ibr. 13:1-8; Mzm. 27:1,3,5,8b-9abc; Mrk. 6:14-29]
MENJERNIHKAN HATI SEBELUM MENGUCAP JANJI
Dalam kondisi kehidupan yang tidak stabil, dan serba fleksibel,
yang namanya pengendalian diri itu penting. Barangkali, kita juga belajar untuk
berkata: “Tidak!” atau “Cukup!” pada hal yang ‘membahayakan’ meski itu adalah
sesuatu yang menyenangkan. Euforia karena kesuksesan atau keberhasilan karena
sebuah prestasi, bisa menjadi tidak baik ketika kita menjadi ‘lupa daratan’,
dan terlalu lama terbang tinggi di awang-awang. Itu bahaya. Kegembiraan yang
tidak terkontrol membuat pikiran menjadi labil, karena tanpa pikir panjang,
orang yang terlalu gembira biasanya akan mudah mengumbar janji manis, tanpa
berpikir panjang, bahwa dia nanti bisa memenuhi atau tidak. Berbahaya, jika
obral janji ini ‘dimanfaatkan’ orang lain untuk mengambil keuntungan. Ketika
pikiran kembali jernih, yang muncul adalah penyesalan dan dukacita.
Inilah tragedi yang terjadi pada pesta ulangtahun Herodes.
Herodes, malam itu, adalah orang yang paling bergembira, apalagi ada hiburan
tarian lemah gemulai dari putri tirinya. Dan, inilah yang terjadi, tanpa pikir
panjang, ia mengucapkan sumpah untuk memberikan apa saja yang diminta oleh
putri tirinya itu. Benar saja, bahwa sumpah Herodes ini ‘dimanfaatkan’ sungguh
oleh Herodias, karena putrinya itu meminta kepala Yohanes di sebuah talam.
Permintaan yang tidak main-main, dan membuat hati Herodes menjadi sedih bukan
kepalang. Obral janji yang diucapkannya berbuah malapetaka dan tragedi yang
terjadi di hari bahagianya.
Kata orang: janji adalah utang! Janji yang terucap harus
ditepati. Maka, perlu hati yang tenang dan jernih, agar setiap ucapan dan
perkataan membuahkan berkat bukan tragedi dan malapetaka, tidak hanya untuk
sendiri tapi untuk orang lain.
Selamat pagi, selamat menjernihkan hati sebelum mengucap janji.
GBU
#james5buceng2