MINGGU BIASA V
[Yes. 58:7-10; Mzm. 112:4-5,6-7,8a,9; 1Kor. 2:1-5; Mat. 5:13-16]
KARENA RASA ADALAH SEGALANYA
Kalau berkisah tentang ‘garam’, saya ingat suatu masa di Tahun
Orientasi Rohani (TOR) Jangli. Waktu itu, masa Prapaskah, dan sesuai aturan
pantang dan puasa di masa Prapaskah, kami menentukan jenis pantang dan hari
puasa yang harus kami jalankan di komunitas. Nah, salah satu hari, kami sepakat
untuk berpantang garam. Artinya, sehari itu, kami akan makan makanan yang tidak
dibumbui garam. Apa yang
terjadi? Waktu itu, sebagian besar dari kami lebih
memilih puasa penuh daripada harus makan tanpa garam. Tanpa garam, makanan
menjadi hambar. Tanpa garam, kenikmatan seolah hilang tanpa bekas. Seperti yang
kita ketahui, garam tersedia melimpah di lautan, dan kalaupun harus membeli,
harganya tidak terlalu mahal. Namun di balik itu, garam memiliki pengaruh yang
luar biasa, meski caranya teramat sederhana. Garam hanya perlu meleburkan diri
dalam masakan dengan tenang dan takaran pas, tanpa hiruk pikuk dan meresap
begitu saja. Garam memberi rasa, efektif dan tanpa banyak kata.
Yesus, dalam Injil hari ini, mengajak kita semua untuk menjadi garam
(dan terang dunia). Kesekian kalinya, Yesus menggunakan barang-barang yang
sangat familiar dalam hidup sehari-hari untuk menggambarkan ajaran-ajaranNya.
Semua orang (besar kecil, tua muda, kaya miskin), pernah menggunakan garam dan
mengenal rasa garam. Di rumah anda, barangkali tidak ada barang mewah nan
istimewa, tapi minimal pasti ada garam. Barang ini kelihatannya sepele, namun
sangat dibutuhkan orang. Ajakan Yesus untuk menjadi garam, bukan soal himbauan
atau perintah, tapi sebuah penegasan, bahwa setiap orang itu bernilai dan
memiliki arti bagi lingkungan dan masyarakat mereka. Namun, dinyatakan pula
bahwa: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia akan diasinkan? Tidak
ada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak orang.” Garam itu berguna karena
ada rasa asin, sehingga makanan menjadi berasa. Namun, untuk menjadi garam
dunia, harus ada harga yang harus dibayar, karena diperlukan pengorbanan,
seperti garam yang perlu melebur, meresap, dan tidak terlihat lagi wujudnya.
Yang tertinggal hanya rasanya. Maka, penegasan Yesus ini juga berkaitan dengan
identitas kristiani, yang mampu memberikan pengaruh moral di tengah masyarakat,
dengan segenap perkataan dan tindakan, meski terkadang tidak terlihat, tidak
dianggap dan tidak diberi penghargaan.
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama, menggambarkan bahwa setiap
anak Allah dipanggil untuk mewujudkan kebaikan Allah yaitu dengan mengenyangkan
yang lapar, memberi tumpangan dan pakaian kepada orang miskin, terbuka pada
saudara-saudara yang tidak sehati, membebaskan siapa pun dari beban (kuk) dan
tidak melontarkan dusta serta fitnah. Ini pula yang menjadi wujud konkret dari
menjadi ‘garam’ bagi dunia. Pada masa ini, banyak orang hidup dalam
ketidakmenentuan, dan kalau kehidupan adalah hidup yang penuh rasa, kini banyak
orang yang mendambakan kepenuhan rasa: rasa cinta, rasa aman, serta rasa lega;
karena yang lebih sering kita dengar sekarang adalah rasa benci, rasa takut,
serta rasa iri. Maka, mari kita menjadi garam, menjadi ‘rasa’ bagi dunia,
karena rasa adalah segalanya.
Selamat pagi, selamat menjadi rasa bagi dunia yang tawar. GBU.
#james5buceng2::