Sabtu, 18 Maret 2017
[Mi. 7:14-15,18-20; Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12; Luk. 15:1-3,11-32]
KITA PUN ADALAH ‘SI ANAK HILANG’ ITU SENDIRI
Dalam sebuah pelajaran agama, seorang guru
bertanya: “Dalam kisah Anak yang Hilang, anak yang manakah yang nasibnya paling
malang?” Tentu semua berebutan menjawab: “Anak yang bungsu, anak yang bungsu!”
Alasannya tentu sangat sederhana, karena anak yang bungsu ini adalah anak yang
menghabiskan kekayaan bapa, pergi dari rumah namun terlunta-lunta di negeri
orang, sampai harus makan makanan babi untuk bisa bertahan hidup. Namun, guru
itu mengatakan sekali lagi, “Anak yang paling malang bukanlah anak bungsu,
tetapi anak lembu jantan”. Dan gelak tawa membahana di dalam kelas. Guru
melanjutkan, “Anak lembu jantan ini bernasib malang, karena tidak tahu apa-apa
tapi justru dipakai untuk pesta.” Nah, kalau saya ditanya hal yang sama, maka
saya akan menjawab, “Si anak sulung!” Mengapa? Karena dia tidak tahu bersyukur
atas semua pemberian bapa, selama hidup bersama di rumah.
Tentu kita sudah sangat sering mendengar tentang
kisah Anak yang Hilang, dan fokus utama kisah biasanya adalah si bungsu. Namun,
gambaran kita sebagai manusia sebenarnya juga tampak dalam diri si sulung
karena kadang kita terjerumus dalam dosa iri hati. Ketika melihat
saudara-saudara yang bertobat dan berbuat baik, kadang kita justru merasa iri
dan mencibir bahwa yang dilakukan hanya sekedar mencari muka atau bahasa indah
sekarang adalah ‘pencitraan’. Selain itu, kadang kita hidup dalam ketidaktulusan,
dimana kita melakukan segala sesuatu dengan pamrih mendapat upah. Dan ketika
ada ‘pendosa’ yang bertobat, dan mendapat kasih Tuhan, kita protes, karena kita
merasa lebih layak untuk mendapatkannya. Dalam hal ini, kita diam-diam menjadi
hakim atas sesama kita, dan dengan demikian, kitalah anak hilang yang
sesungguhnya. Semoga kita senantiasa memiliki kerinduan untuk kembali kepada Bapa,
meski sebagai seorang pendosa namun mau bertobat dan memperbaiki hidup.
Selamat pagi, selamat merindukan Bapa. GBU
#james5buceng2