Minggu, 2 April 2017
HARI MINGGU PRAPASKAH V
[Yeh.
37:12-14; Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8; Rm. 8:8-11; Yoh. 11:1-45]
“MENANGIS
KARENA CINTA”
Kelahiran
manusia ditandai oleh dua hal sekaligus, yaitu senyuman juga tangisan. Senyum
bahagia sang ibu yang telah menanti sedemikian lama, juga senyum bahagia
keluarga yang mendapatkan ‘anggota baru’ dalam kumpulannya. Namun, orang yang
membuat mereka ini tersenyum justru sedang menjerit dan menangis. Konon, suara
tangis menjadi tanda utama sebuah kelahiran, maka orang akan bingung setengah
mati kalau bayi yang dilahirkan belum sampai menangis. Senyum dan tangis,
menyatu dan berpadu, dan menjadi pemandangan yang lumrah dalam sebuah kisah
penantian akan kelahiran. Senyum dan tangis ini perlahan mulai menemukan
tempatnya tersendiri, seiring dengan perkembangan manusia dari bayi menuju masa
kanak-kanak. Kalau masa kanak-kanak, tak jarang orang tua justru akan gelisah
ketika anaknya menangis tanpa henti, bahkan orang tua akan terang-terangan
melarang anak-anak untuk menangis. Dalam hal ini, tangis bukan lagi sebagai
sumber kebahagiaan. Namun, tangisan dianggap sebagai tolok ukur kedewasaan
seseorang. Seseorang yang sering menangis dianggap cengeng dan kekanak-kanakan.
Di dalam banyak kebudayaan, menangis sering dianggap sebagai tanda kelemahan,
maka tidak mengherankan kalau orang diajari untuk menahan diri dan kuat untuk
tidak menangis.
Namun,
dalam bacaan Injil yang kita dengarkan hari ini, sesuatu yang teramat ‘aneh’
terjadi, karena Yesus, yang adalah Tuhan, pun terharu dan menangis. Belum lagi,
Yesus adalah seorang laki-laki, dan seorang laki-laki yang menangis, adalah
sesuatu yang ‘aneh’ dan berlawanan dengan kepribadian seorang laki-laki. Namun,
Yesus menangis bukan tanpa alasan. Pertama, karena kasihNya yang mendalam
kepada saudaraNya, Lazarus yang telah mati, dan tangisan adalah bukti bahwa Ia
amat mencintai saudaraNya ini. Kedua, lepas dari urusan manusiawi, Yesus
‘menangis’ karena sedikit ‘terpaksa’ membangkitkan Lazarus untuk membuktikan
adanya kebangkitan badan. Perlu diketahui bahwa orang-orang Yahudi waktu itu tidak
mempercayai adanya kebangkitan badan dalam kehidupan kekal. Yesus menangisi
orang-orang Yahudi, tokoh agama dan ahli kitab yang tegar hati dan tidak mudah
percaya padaNya dan ajaranNya. Tangisan Yesus terjadi karena mesti ‘menunda’
kematian saudaraNya demi pertumbuhan iman orang-orang Yahudi. Inilah wujud
cinta yang tulusNya kepada umat manusia, bahkan kepada orang-orang yang tak
menerima kehadiranNya, karena Yesus ingin semua manusia percaya kepadaNya dan
memperoleh keselamatan.
Perihal
tangis menangis, tindakan ini bukan sekedar ungkapan perasaan, namun mesti
diikuti dengan tindakan rasional, yang penuh harapan. Menangis tanpa membawa
kesadaran dan pengertian, tak akan menyelesaikan sebuah permasalahan. Kalau
kita selalu bilang bahwa kita menangis karena cinta, namun kehidupan berhenti,
maka tangisan kita bukan karena cinta, namun sekedar ungkapan perasaan yang
berlebihan. Menangis karena cinta menjadi berarti ketika membawa diri sendiri
pada perubahan hidup yang lebih baik, serta membawa orang-orang di sekitar kita
pada kebaikan yang sama. Menangis karena cinta pun memiliki unsur introspeksi
menuju hakekat hidup sejati. Maka, di dalam tangisan seperti ini, selalu
terungkap cinta kepada Allah, alam semesta, sesama dan diri sendiri. Dan kita
berharap bahwa, pada penghujung langkah kita di dunia, Allah akan mengusap air
mata dukacita menjadi dengan sukacita kehidupan abadi.
Selamat
pagi, selamat menemukan sukacita dalam tangisan karena cinta. GBU.
#james5buceng2