
“Ketika Kristus menjadi hidup kita, kita mencapai kepenuhan
hidup Kristiani”
ADA berbagai macam kisah kebangkitan yang diwartakan pada
perayaan Paskah. Pada Misa Malam Paskah dikutip Injil Lukas (24:1-12), yang
berkisah tentang para wanita yang menerima warta bahwa Yesus sudah bangkit.
Para wanita itu lalu memberitahukan hal itu kepada para
rasul, tetapi para rasul tidak percaya dan menganggap kisah itu omong kosong
(ay 11). Petrus pun hanya sampai “bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah
terjadi” (ay 12).
Pada Hari Raya Paskah pagi, dibacakan kisah kebangkitan dari
Injil Yohanes (20:1-9). Kisah ini berakhir dengan menceritakan bahwa “murid
yang lain” melihat dan percaya (ay 8). Misa Paskah sore mengambil bacaan kisah
dua murid Emaus. Kisah ini antara lain menggambarkan transformasi diri kedua
murid itu, sebagai buah perjumpaan mereka dengan Kristus yang bangkit.
Semula wajah mereka muram (ay 17), sesudah mengenali diri
Yesus yang bangkit, hati mereka menjadi berkobar-kobar (ay 32). Semula mereka
dengan nada merendahkan memandang Yesus sebagai “orang asing” (ay 18), sesudah
berjumpa dengan Kristus, dengan nada bersahabat mereka mengundang Yesus untuk
tinggal bersama mereka (ay 29).
Sementara itu, bacaan kedua untuk Minggu Paskah pagi,
mengutip surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose 3:1-4. Dalam kutipan itu,
Rasul Paulus mengajak kita semua untuk meyakini bahwa dengan merayakan Paskah,
kita dibangkitkan bersama dengan Kristus (ay 1) dan Kristus menjadi hidup kita
(ay 4).
Sejajar dengan itu, ketika Kristus menjadi hidup kita, kita
mencapai kepenuhan hidup Kristiani. Itulah panggilan hidup kita, sebagaimana
diajarkan oleh Gereja : ”Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani,
bagaimana pun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai
kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan kasih”
(Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja No 40).
Panggilan menuju kesucian ini ditegaskan oleh Paus
Fransiskus dalam Anjuran Apostolik yang berjudul Bergembira dan Bersukacitalah.
Dalam Anjuran Apostolik ini Paus Fransiskus menjelaskan arti panggilan kesucian
dalam dunia sekarang ini dan mendorong kita semua untuk menanggapinya.
Beliau antara lain menulis, “Kita seringkali tergoda untuk
berpikir bahwa kesucian hanya diperuntukkan bagi mereka yang dapat menarik diri
dari urusan sehari-hari dan menyediakan banyak waktu untuk berdoa. Bukan
demikian.”
“Kita dipanggil untuk menjadi suci dengan menghayati hidup
kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita
lakukan, di mana pun kita berada.”
“APAKAH ANDA TERPANGGIL UNTUK MENJALANI HIDUP BAKTI? JADILAH
SUCI DENGAN MENGHAYATI KOMITMEN ANDA DENGAN GEMBIRA.
APAKAH ANDA MENIKAH? JADILAH SUCI DENGAN MENGASIHI DAN
MEMBERIKAN PERHATIAN KEPADA SUAMI ATAU ISTERI ANDA SEBAGAIMANA DILAKUKAN OLEH
KRISTUS BAGI GEREJA-NYA.”
Apakah Anda bekerja untuk mencari nafkah? Jadilah suci
dengan bekerja secara jujur dan cerdas dalam pelayanan kepada saudari-saudari
Anda.” (No 14).
Paus Fransiskus memberikan contoh yang amat konkret dan
sederhana untuk melangkah menuju kepenuhan hidup Kristiani itu – yang artinya
sama dengan kesempurnaan kasih dan kesucian, atau dalam bahasa Rasul Paulus,
selalu memikirkan dan mencari perkara yang di atas (Kol 3:1).
Ia menulis, “Kita bertumbuh dalam kesucian yang merupakan
panggilan kita semua, melalui hal kecil sehari-hari. Berikut contohnya :
seorang ibu pergi berbelanja dan dia berjumpa dengan seorang tetangga.
Mulailah mereka berbicara dan pada suatu titik mulailah
mereka bergosip. Namun ibu itu berkata dalam hatinya : “Tidak, saya tidak akan
berbicara jelek mengenai orang lain”. Ini adalah satu langkah maju dalam
kesucian. Selanjutnya di rumah, salah satu anaknya ingin berbicara dengan dia
mengenai harapan dan mimpi-mimpinya. Meskipun lelah, ia duduk dan mendengarkan
dengan sabar, penuh perhatian serta kasih. Ini adalah pengorbanan lain yang
mendatangkan kesucian.”
“Berikutnya ia merasa cemas, tetapi ketika itu ia ingat akan
kasih Bunda Maria, mengambil rosario dan berdoa dengan penuh iman. Suatu jalan
lain lagi menuju kesucian. Berikutnya lagi, ia pergi ke jalan, berjumpa dengan
seorang miskin dan berhenti untuk menyapa orang miskin itu. Satu langkah maju
lagi dalam kesucian” (No 16).
Jikalau demikian Paskah bukanlah sekadar peristiwa yang
dirayakan setahun sekali. Setiap hari bahkan setiap saat kita bisa merayakan
paskah-paskah kecil, setiap kali kita memilih untuk melakukan yang baik dan
benar, bukan sekadar yang gampang dan menyenangkan.
Selamat Paskah.
Mgr Ignatius Suharyo
Uskup Agung Jakarta