
Namun, seperti Yesus pula, kita diajak menyadari: tanpa cawan atau penderitaan, mungkin kita tidak akan meraih makna tersembunyi dari hidup yang sudah kita perjuangkan ini. Kita tidak sampai pada tujuan dan misi hidup kita. Begitu sering kita mengundang Allah untuk me-rescue kita dalam keadaan yang susah sebelum kita sendiri mengambil makna dari kesusahan itu secara maksimal, sampai batas paling jauh. Allah sebagai rescuer dan coast guard mungkin berguna untuk sekadar mengamankan nyawa kita dari air laut hari itu, tetapi dalam keadaan seperti itu Allah tidak memiliki kesempatan mengajari kita berenang di antara ombak-ombak besar, berenang lebih jauh menembus gelombang laut dan menggapai pulau-pulau indah di seberang sana, di mana ada janji kehidupan.
Tiba-tiba kita sadar, solusinya bukan mengundang Allah sebagai penjaga pantai, melainkan bertekun dalam memupuk relasi dengan Allah yang hendak melatih kemampuan jiwa kita untuk mengarungi samudera kehidupan, persis di saat-saat sulit seperti itu. Minggu Paskah adalah saat istimewa di mana penderitaan paling miris dan kematian paling keji mendapatkan makna paling agung karena kita tempatkan dalam relasi kita dengan Allah sebagai Bapa dan pelatih jiwa kita, bukan sebagai penjaga pantai dan rescuer. Allah adalah penjamin makna hidup kita, bukan sekedar jaringan pengaman nyawa kita. Relasi kita dengan Allah menuntut kita untuk bertahan dan berjuang sampai batas paling jauh. Bagi Yesus, batas paling jauh ini adalah kematian di salib: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!” (Mat 26:42).
Dalam batas paling jauh itulah Allah juga menunjukkan tindakan paling radikal dan paling jauh: Allah membangkitkan Yesus dari kematian. Allah mengubah kematian yang tampaknya sia-sia menjadi peristiwa penuh makna, bahkan menjadi kematian yang menebus dan menyelamatkan. Kematian berubah menjadi kehidupan.

Kalau demikian Paskah Kebangkitan Tuhan menjadi rahmat lebih istimewa tahun ini bagi kita. Seperti perempuan-perempuan yang pagi-pagi mengunjungi makam Yesus, mereka berbuat sesuatu yang paling jauh, dengan mengatasi ketakutan dan keputusasaan, dan mereka diberi rahmat sukacita kebangkitan (Mat 28:1-10). Para perempuan itu membuka diri untuk diajari berenang oleh Allah, untuk mengarungi gelombang besar, dan mereka tidak minta Allah me-rescue mereka dari pengalaman kegelapan, dan mereka pun akhirnya sampai pada pulau-pulau kebangkitan, di mana hidup ditandai oleh sukacita yang tidak bisa direnggut lagi oleh siapapun dan apapun.
penulis/sumber : P A Bagus Laksana S.J. / kolsani.or.id sumber gambar : pexels