
Pelayanan pada bumi itu sudah sejak semula ditugaskan kepada manusia pertama, tidak hanya terjadi secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif: disebutkan dengan sangat bagus ‘taklukkanlah’; suatu ungkapan yang menunjukkan perlakuan intersubyektif antara manusia dengan alam semesta: Alam dipandang sebagai subyek juga. Begitulah cara orang beriman memandang ‘segala binatang sampai dengan tetumbuhan dan binatang beraneka’. Hanya begitulah kalau ‘mau baik segalanya’. Seluruh proses itu disebut sebagai ‘diberkati dan dikuduskan oleh Allah’.
Mazmur memperlihatkan sikap berdoa yang tepat apabila umat merenungkan seluruh proses hidup dan karya seorang pekerja: membuka diri agar Allah meneguhkan pekerjaan semuanya. Begitulah St. Yusuf dikuduskan secara istimewa dalam perannya sebagai pelindung para pekerja.
Keseluruhan sikap dasar kodrat manusia adalah bekerja, dan bersama St. Yusuf itu dibawa ke dalam sikap mulia, dengan ‘memuji Allah hari demi hari’. Pekerjaan, yang sering membawa gambaran perbudakan, dikuduskan dengan mempersembahkannya kepada Allah.
Pangkal kehidupan Guru dari Nasaret memang sederhana: ‘Dia anak tukang kayu’. Namun keistimewaan nilai pekerjaan, terletak di dalam partisipasinya pada seluruh proses Penciptaan dan Penyelenggaraan Ilahi untuk mengolah alam semesta. Dengan demikian pula, segala sarana kerja dan bagian alam yang dikerjakan menemukan kemuliaan, melampaui kodratnya, sampai pada Dunia Adikodrati. Oleh sebab itu, puji-pujian maupun keuntungan sosial, ekonomis dan politis dirangkum dalam Ruah Allah, yang memang oleh Kitab Kejadian disebut ‘melingkupi segala sesuatu’ (Kej. 1:2).
Marilah kita mensyukuri makna pekerjaan sebagai ungkapan iman, bersama St. Yusuf, yang pekerjaannya untuk mendukung Penjelmaan, Penebusan dan Pengudusan manusia.
(RP. B.S. Mardiatmadja, SJ – Dosen STF Driyarkara)
sumber : karyakepausanindonesia.org